Home Ilmu Komunikasi Keadilan Restoratif dalam Penanganan Kasus KDRT

Keadilan Restoratif dalam Penanganan Kasus KDRT

by Rudi Trianto
Keadilan Restoratif dalam Penanganan Kasus KDRT

Oleh: Arif Mulyohadi – Dosen Prodi Hukum Pidana Islam, Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan & Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jatim

Keadilan Restoratif dalam Penanganan Kasus KDRT. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi persoalan sosial yang cukup serius di Indonesia. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan jumlah laporan kasus KDRT setiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah ini belum terselesaikan secara efektif. Penanganan KDRT tidak cukup hanya dengan penegakan hukum pidana semata. Perlu pendekatan yang lebih humanis dan menyeluruh, terutama untuk memulihkan kondisi korban.

Dalam konteks ini, keadilan restoratif hadir sebagai sebuah pendekatan alternatif yang menawarkan solusi baru dalam penanganan KDRT. Pendekatan ini menitikberatkan pada proses dialog dan rekonsiliasi antara korban, pelaku, dan masyarakat. Tujuannya untuk memperbaiki kerusakan sosial yang ditimbulkan akibat tindakan kekerasan. Namun, pelaksanaan keadilan restoratif di Indonesia belum berjalan dengan optimal dan menghadapi berbagai tantangan yang bersifat struktural maupun budaya.

Pemahaman Keadilan Restoratif

Secara sederhana, keadilan restoratif merupakan pendekatan hukum yang fokus pada pemulihan hubungan antara korban, pelaku, serta komunitas yang terdampak. Howard Zehr, tokoh utama dalam bidang ini, menyatakan bahwa keadilan restoratif tidak hanya berorientasi pada pemberian hukuman, tetapi juga bertujuan mengembalikan keseimbangan sosial melalui pengakuan kesalahan dan tanggung jawab pelaku.

Dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, pendekatan ini sangat relevan karena memungkinkan korban memperoleh perlindungan yang lebih komprehensif. Termasuk pemulihan psikologis dan dukungan sosial. Sementara itu, pelaku diberi kesempatan untuk mengakui kesalahannya dan memperbaiki perbuatannya. Pendekatan ini sangat selaras dengan nilai-nilai kekeluargaan dan musyawarah yang menjadi bagian penting dari budaya Indonesia.

Namun, sebagaimana diingatkan oleh Prof. M. Yahya Harahap, keadilan restoratif bukan berarti menghilangkan sanksi pidana, melainkan menyeimbangkan antara upaya pemulihan korban. Serta penegakan pertanggungjawaban pelaku agar efek jera tetap tercapai. Oleh karena itu, penerapan keadilan restoratif harus dilakukan secara cermat dan berdasarkan kepastian hukum.

Baca juga:  Kriminalisasi Aktivisme di Era Digital Antara Perlindungan Negara dan Hak Demokrasi

Keadilan Restoratif pada Kasus KDRT di Indonesia

Di Indonesia, penerapan keadilan restoratif mulai diperkenalkan di dalam sistem peradilan, terutama dalam penanganan kasus anak dan kekerasan berbasis gender. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 mengenai Pedoman Pelaksanaan Diversi menjadi dasar hukum dalam penyelesaian alternatif yang melibatkan langsung korban dan pelaku.

Selain itu, lembaga seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) serta Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di kepolisian aktif melakukan mediasi dan konseling dengan pendekatan restorative justice. Melalui cara ini, diharapkan tercipta dialog yang positif sehingga korban merasa aman. Dan juga pelaku mampu bertanggung jawab secara moral atas tindakannya.

Meski demikian, penerapan keadilan restoratif sangat bergantung pada kesiapan aparat hukum dan kesediaan para pihak yang terlibat. Dr. Sri Soemardjan menegaskan pentingnya pelatihan bagi aparat hukum agar dapat menjalankan keadilan restoratif dengan efektif dan tetap mengutamakan perlindungan korban.

Keadilan Restoratif dalam Penanganan Kasus KDRT

Keadilan Restoratif dalam Penanganan Kasus KDRT

Hambatan dan Tantangan

Dalam praktiknya, keadilan restoratif pada kasus KDRT menghadapi beberapa kendala sebagai berikut:

  1. Ketidakseimbangan Kekuasaan dalam Rumah Tangga.
    Dalam banyak kasus, korban kekerasan berada dalam posisi yang lemah dan rentan. Proses mediasi berpotensi memaksa korban untuk menerima perdamaian demi menjaga nama baik keluarga. Tanpa memperhatikan hak dan perlindungan korban secara menyeluruh.
  2. Keterbatasan Regulasi yang Mengatur Khusus KDRT.
    Walaupun keadilan restoratif telah diatur dalam sejumlah regulasi, belum ada aturan khusus yang mengatur secara rinci pelaksanaannya pada kasus kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan hukum dan risiko perlindungan korban yang kurang optimal.
  3. Budaya Patriarki dan Stigma Sosial.
    Budaya patriarki yang masih melekat kuat menyebabkan korban enggan melapor karena takut mendapat cap negatif dan tekanan sosial. Kondisi ini menghambat terbukanya ruang untuk pelaksanaan keadilan restoratif yang efektif.
  4. Keterbatasan Kapasitas Aparat Penegak Hukum.
    Banyak aparat hukum yang belum memiliki keterampilan dan pengetahuan memadai untuk menerapkan pendekatan restoratif, sehingga dalam praktiknya sering kali tidak berjalan efektif dan justru merugikan korban.

Baca juga: Kampanye Politik Antara Rayuan Persuasif dan Serangan Black Campaign

Rekomendasi Penguatan Keadilan Restoratif

Untuk mengatasi hambatan tersebut, beberapa langkah strategis dapat ditempuh:

  1. Pengembangan Regulasi Khusus untuk KDRT.
    Pemerintah perlu menyusun pedoman dan protokol khusus yang mengatur penerapan keadilan restoratif bagi kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan fokus pada perlindungan maksimal bagi korban, termasuk mekanisme pengawasan dan evaluasi.
  2. Peningkatan Kompetensi Aparat Penegak Hukum.
    Pelatihan secara rutin dan berkelanjutan tentang keadilan restoratif dan sensitivitas gender harus diberikan kepada aparat kepolisian, jaksa, dan hakim.
  3. Edukasi dan Pemberdayaan Korban serta Masyarakat.
    Program edukasi perlu digalakkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak korban dan pentingnya keadilan restoratif, sekaligus mengubah paradigma patriarki yang membatasi pelaporan KDRT.
  4. Sinergi Multi-Sektor dalam Penanganan KDRT.
    Kolaborasi antara pemerintah, LSM, komunitas adat, dan institusi pendidikan penting untuk menciptakan penanganan kasus yang komprehensif dan berkeadilan.

Keadilan restoratif menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi dan menyeluruh dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia. Pendekatan ini tidak hanya mengandalkan aspek hukum pidana, tetapi juga menitikberatkan pada pemulihan korban dan rekonsiliasi sosial. Dengan dukungan regulasi yang memadai, peningkatan kapasitas aparat hukum, serta perubahan budaya yang lebih mendukung, keadilan restoratif dapat menjadi instrumen yang efektif untuk menciptakan penanganan KDRT yang adil dan berkeadaban.

Seperti yang dikemukakan Prof. Maria Farida Indrati, “Keadilan restoratif merupakan transformasi paradigma hukum yang menempatkan kemanusiaan dan pemulihan sosial sebagai prioritas.” Indonesia, dengan tradisi musyawarah dan kekeluargaan yang kuat, memiliki potensi besar untuk mengembangkan pendekatan ini. Semuanya demi mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan harmonis.

 

You may also like