Home Studi Islam Disertasi Salah Arah: Ketika Gelar Doktor Mengancam Ilmu dan Umat

Disertasi Salah Arah: Ketika Gelar Doktor Mengancam Ilmu dan Umat

by Rudi Trianto
Disertasi Salah Arah Ketika Gelar Doktor Mengancam Ilmu dan Umat

Disertasi Studi Islam menempati posisi strategis karena ia bukan sekadar karya akademik, tetapi juga rujukan keilmuan dan moral umat. Persoalan muncul ketika disertasi dinilai hanya dari kelengkapan metodologi, sementara substansi, nilai aqidah, dan dampak sosialnya diabaikan. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa disertasi yang rapi secara akademik bisa bermasalah secara teologis dan etis. Maka, apakah standar kelulusan disertasi Studi Islam hari ini sudah benar-benar menjaga kemurnian ilmu dan tanggung jawab keumatan?

Kesalahan Substansial: Disertasi Melahirkan Ilmu yang Menyimpang

Kesalahan paling fatal dalam disertasi Studi Islam terjadi ketika ia melahirkan konsep atau teori yang bertentangan dengan aqidah dan nilai dasar Islam. Pada titik ini, disertasi tidak lagi sekadar lemah, tetapi berubah menjadi sumber kerusakan ilmu. Disertasi yang salah secara substansi bukan hanya kegagalan akademik, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah ilmu dan tanggung jawab keagamaan.

Dalam tradisi keilmuan Islam, kebenaran substansi lebih utama daripada kecanggihan metode. Disertasi yang membenarkan relativisme agama, melegalkan penyimpangan moral, atau merusak ukhuwah Islamiyah bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Meski secara metodologis memenuhi standar kampus, disertasi semacam ini tetap dipandang batil. Inilah sebabnya para ulama dan penguji disertasi klasik sangat berhati-hati terhadap isi pemikiran, bukan hanya bentuk penulisannya.

Baca juga: Dosen, Jurnal, dan Kapitalisme Ilmu: Saat Pikiran Harus Berbayar

Solusi utama untuk mencegah kesalahan substansial adalah penguatan landasan aqidah dan kerangka normatif Islam sejak awal penelitian. Disertasi Studi Islam harus diuji tidak hanya oleh pendekatan metodologis modern, tetapi juga oleh kesesuaian dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ ulama. Para promotor dan penguji perlu berani menolak disertasi yang secara substansi menyimpang, meskipun secara teknis terlihat sempurna.

Kesalahan Epistemologis: Ketergantungan Buta pada Teknologi

Kesalahan serius lain dalam disertasi Studi Islam adalah ketergantungan berlebihan pada teknologi dan kecerdasan buatan tanpa kendali nilai dan adab keilmuan. Disertasi Studi Islam yang bergantung penuh pada AI mungkin tampak modern, tetapi berpotensi rapuh secara epistemologi dan berbahaya secara keilmuan.

AI mampu membantu pencarian literatur, analisis data, bahkan penyusunan teks akademik. Namun, AI tidak memiliki ruh iman, akhlak, dan tanggung jawab epistemik. Dalam Studi Islam, ilmu tidak hanya soal data, tetapi juga sanad keilmuan, otoritas ulama, dan metodologi turats. Ketika mahasiswa menjadikan AI sebagai pengganti nalar kritis dan pemahaman mendalam, disertasi berisiko kehilangan ruh keilmuan Islam.

Solusinya bukan menolak teknologi, melainkan menempatkannya sebagai alat, bukan otoritas. AI harus digunakan secara terbatas dan terverifikasi, sementara analisis utama tetap dilakukan oleh peneliti dengan penguasaan literatur klasik dan kontemporer. Perguruan tinggi perlu menyusun etika penggunaan AI dalam penulisan disertasi Studi Islam agar teknologi tidak menggeser tanggung jawab intelektual dan moral penulis.

Disertasi Salah Arah Ketika Gelar Doktor Mengancam Ilmu dan Umat

Disertasi Salah Arah Ketika Gelar Doktor Mengancam Ilmu dan Umat

Kesalahan Etis: Ilmu Tinggi Tanpa Akhlak

Kesalahan berikutnya adalah ketika disertasi Studi Islam kehilangan orientasi akhlak dan tanggung jawab sosial, meski memiliki novelty dan berhasil meraih gelar akademik tertinggi. Gelar doktor tanpa akhlak dan tanggung jawab sosial berpotensi melahirkan krisis keilmuan yang merugikan umat.

Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa ilmu tanpa akhlak melahirkan ulama su’, yakni orang berilmu yang justru merusak masyarakat. Di hari ini, disertasi yang dingin secara moral, abai terhadap dampak sosial, atau menjadi alat pembenaran ideologi menyimpang termasuk bentuk kemunkaran ilmiah. Ketika disertasi semacam ini disebarluaskan melalui teknologi digital, dampak kerusakannya bisa jauh lebih luas dan cepat.

Solusinya adalah mengembalikan orientasi disertasi Studi Islam pada kemaslahatan umat. Setiap disertasi harus diuji dampak sosial dan moralnya, bukan hanya kontribusi teoritisnya. Pembimbing dan penguji perlu memastikan bahwa disertasi mendorong amar ma’ruf nahi munkar, bukan sekadar memenuhi ambisi akademik pribadi.

Disertasi Studi Islam yang Ideal

Disertasi Studi Islam yang ideal harus memadukan ketepatan metodologi, kelurusan aqidah, kedalaman epistemologi, dan kematangan akhlak ilmiah. Karya akhir Studi Islam yang ideal bukan hanya sah secara akademik, tetapi juga lurus secara aqidah, kokoh secara epistemologi, dan membawa maslahat nyata bagi umat.

Baca juga: Followers, Persepsi, dan Viralitas: Tiga Tuhan Baru di Dunia Digital

Tantangan Studi Islam di era digital dan AI semakin kompleks. Tanpa kerangka nilai yang kuat, kemajuan teknologi justru dapat mempercepat penyebaran kesalahan ilmiah. Karena itu, penyusunan disertasi tidak cukup berorientasi pada kelulusan, tetapi pada amanah keilmuan dan tanggung jawab keumatan.

Langkah konkret yang bisa ditempuh antara lain, memperkuat kurikulum metodologi Studi Islam berbasis turats dan kontemporer, menyusun pedoman etika penggunaan AI, memperketat peran promotor dan penguji dalam menilai substansi, serta menanamkan kesadaran bahwa disertasi adalah bentuk dakwah ilmiah. Dengan pendekatan ini, disertasi tidak hanya melahirkan gelar doktor, tetapi juga ilmu yang membawa keberkahan.
Oleh: Rudi Trianto – Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang

You may also like