Home Studi Islam Matinya Universitas dan Jalan Pulang Kampus Islam

Matinya Universitas dan Jalan Pulang Kampus Islam

by Rudi Trianto
Matinya Universitas dan Jalan Pulang Kampus Islam

Matinya Universitas dan Jalan Pulang Kampus Islam. Universitas hari ini semakin sering dinilai dari angka, peringkat, dan serapan kerja lulusan. Logika pasar dan birokrasi kinerja perlahan menggeser peran kampus dari ruang pencarian makna menjadi mesin produksi tenaga kerja. Kritik Peter Fleming dalam Dark Academia menunjukkan bahwa universitas yang kehilangan ruhnya akan mati pelan-pelan. Pertanyaannya, mampukah Perguruan Tinggi Islam di Indonesia keluar dari jebakan ini dan kembali menjadi pusat pembentukan manusia beradab?

Ketika Universitas Menjadi Edu-Factory

Perguruan tinggi modern, sebagaimana dikritik Peter Fleming, telah mengalami pergeseran mendasar. Universitas tidak lagi dipahami sebagai ruang pembentukan pemikiran kritis dan kebijaksanaan, melainkan sebagai pabrik kapital yang memproduksi lulusan sesuai kebutuhan pasar. Mahasiswa diperlakukan layaknya produk, program studi dipaksa relevan secara ekonomi, dan gelar akademik berubah menjadi komoditas. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Barat, tetapi mulai terasa pula di Indonesia, termasuk di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Dominasi neoliberalisme membuat tata kelola kampus dikendalikan oleh KPI, IKU, akreditasi, dan ranking. Kepakaran dosen diukur dari jumlah publikasi dan hibah, bukan dari kedalaman ilmu dan kontribusinya bagi umat. Program studi keislaman yang tidak langsung menghasilkan keuntungan ekonomi sering dipandang tidak strategis. Akibatnya, otonomi keilmuan tergerus, dan keputusan akademik lebih banyak ditentukan oleh logika manajerial daripada pertimbangan ilmiah.

Lebih jauh, universitas semakin terputus dari realitas sosial. Krisis besar seperti pandemi menunjukkan betapa banyak kampus gagap merespons persoalan nyata masyarakat. Riset kaya teori, tetapi miskin dampak. Mahasiswa lulus dengan ijazah, tetapi minim kesadaran sosial dan tanggung jawab moral. Inilah yang oleh Fleming disebut sebagai hilangnya ruh akademik: pendidikan melahirkan kepatuhan, bukan keberanian berpikir; menghasilkan pekerja patuh, bukan pemikir merdeka.

Jika situasi ini dibiarkan, universitas —termasuk Kampus Islam— akan kehilangan legitimasi moralnya sebagai lembaga pembentuk akal dan nurani. Kampus akan lebih sibuk mengejar target pasar, peringkat, dan laporan kinerja ketimbang menjaga ruh keilmuan dan tanggung jawab sosialnya. Universitas mungkin tetap berdiri megah secara fisik, tetapi perlahan kehilangan makna dan kepercayaan publik.

Matinya Universitas dan Jalan Pulang Kampus Islam

Matinya Universitas dan Jalan Pulang Kampus Islam

Menghidupkan Kembali Ruh Kampus Islam

Di tengah kritik tajam Fleming, Perguruan Tinggi Islam sebenarnya memiliki modal kuat untuk tidak ikut tenggelam. Jalan keluar pertama adalah menegaskan kembali misi kampus sebagai pembentuk insan beriman, berilmu, dan beradab, bukan sekadar pencetak tenaga kerja. Maqashid syariah dapat dijadikan kompas tridharma agar pendidikan, riset, dan pengabdian tetap berpihak pada kemaslahatan umat.

Reformasi KPI menjadi langkah penting berikutnya. Kampus Islam perlu menggeser orientasi dari sekadar output angka menuju outcome yang berdampak. Publikasi dan akreditasi tetap penting, tetapi harus diimbangi dengan kontribusi nyata bagi masyarakat. Beban administratif yang menumpuk perlu dipangkas agar dosen kembali memiliki ruang untuk membaca, meneliti, menulis, dan membina mahasiswa.

Perguruan Tinggi Islam juga harus melindungi otonomi keilmuan program studi keislaman. Tidak semua disiplin harus tunduk pada logika pasar jangka pendek. Tradisi ilmiah Islam—halaqah, adab ikhtilaf, sanad keilmuan—perlu dihidupkan kembali agar kampus menjadi ruang dialog intelektual yang sehat. Riset pun harus “turun ke bumi”, menyentuh problem umat seperti literasi agama digital, ekonomi syariah, dan ketahanan keluarga.

Dengan tata kelola yang amanah, pemanfaatan teknologi dan AI yang beretika, serta perhatian pada kesejahteraan dosen, Kampus Islam dapat kembali menemukan ruhnya. Universitas tidak harus mati sebagaimana diprediksi Fleming, jika warganya berani merebut kembali pendidikan sebagai proyek intelektual, etis, dan manusiawi.

Oleh: Rudi Trianto – Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang

You may also like