Home Studi Islam Kampus Elit Mahasiswa Sulit

Kampus Elit Mahasiswa Sulit

by Rudi Trianto
Kampus Elit Mahasiswa Sulit

Kampus Elit Mahasiswa Sulit. Universitas hari ini tampak gemerlap dengan berbagai label internasional dan peringkat dunia yang dibanggakan. Namun di balik citra global itu, banyak lulusan justru kesulitan mendapatkan pekerjaan layak dan terjebak dalam skema magang yang tidak mendidik. Sejumlah kritik menyebut kampus terlalu sibuk mengejar prestise ketimbang memastikan masa depan mahasiswanya. Lalu, ke mana sebenarnya arah perguruan tinggi melangkah?

Megah di Citra, Rapuh di Realita

Universitas modern sedang menghadapi paradoks besar. Di satu sisi, kampus berlomba-lomba menaikkan peringkat dunia melalui QS Ranking, Times Higher Education, dan berbagai sertifikasi internasional. Brosur kampus penuh slogan seperti world class university, internationally recognized, hingga AI-driven campus. Semua tampak maju dan menjanjikan. Namun di sisi lain, ribuan sarjana baru justru berjubel di job fair, mengantre lowongan magang dibayar yang sering kali tidak linier dengan bidang studinya.

Obsesi pada ranking dan pencitraan akademik membuat kampus berubah menjadi etalase prestise. Energi pimpinan dan dosen tersedot untuk memenuhi indikator global. Publikasi Scopus, jumlah mahasiswa asing, dan laporan akreditasi. Pendidikan substantif—yang seharusnya membekali mahasiswa dengan kemandirian berpikir, karakter, dan keterampilan hidup sering kali terpinggirkan. Kampus lebih sibuk terlihat hebat di mata dunia ketimbang hadir nyata dalam kehidupan mahasiswanya.

Baca juga: Matinya Universitas dan Jalan Pulang Kampus Islam

Dampaknya terasa pada riset yang kehilangan arah sosial. Banyak penelitian diarahkan demi memenuhi target publikasi internasional, bukan menjawab persoalan riil bangsa seperti stunting, ketimpangan energi, birokrasi yang tidak efisien, atau krisis moral. Perguruan Tinggi menjelma menjadi “pabrik akreditasi” yang rajin menghasilkan laporan, tetapi minim dampak nyata. Dalam sistem seperti ini, mahasiswa kerap diperlakukan sebagai angka statistik dan komoditas reputasi. Dibanggakan saat diterima, dilepas begitu saja setelah wisuda.

Paradoks ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi sedang mengalami krisis orientasi. Ia tampak maju secara simbolik, tetapi rapuh dalam menjalankan fungsi dasarnya. Tak mampu mengangkat harkat mahasiswa dan gagal memecah masalah bangsa.

Kampus Elit Mahasiswa Sulit

Kampus Elit Mahasiswa Sulit

Perguruan Tinggi Ideal Seperti Apa?

Di tengah kritik tajam terhadap universitas modern, konsep perguruan tinggi ideal berbasis nilai menawarkan jalan keluar. Dalam perspektif Islam, sebagaimana ditegaskan Syed Muhammad Naquib al-Attas, universitas sejati adalah lembaga pembentuk manusia beradab, bukan sekadar pusat transfer ilmu atau pabrik tenaga kerja. Fondasi iman, akhlak, dan adab harus menjadi poros utama, agar ilmu tidak melahirkan manusia zalim yang pintar tetapi merusak.

Perguruan tinggi ideal bertujuan membentuk manusia paripurna yang beriman, bertaqwa, berilmu, dan bermanfaat. Kesuksesan lulusan tidak diukur hanya dari gelar atau cepatnya terserap pasar kerja, melainkan dari kontribusinya bagi masyarakat. Inilah keberanian moral yang dibutuhkan kampus. Berani melawan arus pragmatisme pendidikan pasar dan memilih jalan yang benar secara nilai, meski tidak selalu populer.

Baca juga: Disertasi Salah Arah – Ketika Gelar Doktor Mengancam Ilmu dan Umat

Solusi konkret dapat dimulai dengan mengintegrasikan keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, dan keilmuan tinggi dalam proses pembelajaran. Mahasiswa dilatih berpikir kritis, membaca dan menulis serius, berdiskusi, dan merespons problem umat secara solutif. Di era AI dan media sosial, perguruan tinggi justru harus menjadi benteng pembentukan karakter. Mencegah krisis moral dan fenomena brain rot di kalangan generasi muda. Teknologi diposisikan sebagai alat bantu, bukan penentu nilai manusia.

Dengan orientasi seperti ini, perguruan tinggi kembali menjadi ruang pengabdian dan peradaban. Kampus tidak lagi berdiri sebagai menara gading atau pabrik prestise, melainkan sebagai tempat lahirnya manusia yang menang di dunia tanpa melupakan akhirat—dan siap membawa perubahan nyata bagi bangsa. Tak hanya tinggi ilmu, tapi juga berhati mulia.

Oleh: Rudi Trianto – Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang

You may also like