Home Ilmu Komunikasi Konten Keislaman Antara Viral dan Valid

Konten Keislaman Antara Viral dan Valid

by Rudi Trianto
Konten Keislaman Antara Viral dan Valid

Konten Keislaman Antara Viral dan Valid. Di tengah derasnya arus dakwah digital, membedakan antara konten Islam yang otentik dan yang menyesatkan menjadi pekerjaan yang tak mudah. Hal ini terjadi karena siapa pun kini bisa menjadi penyampai pesan agama tanpa proses validasi keilmuan. Akibatnya, konten hoaks yang berbalut ayat atau hadis pun dengan cepat menyebar, bahkan lebih viral dari konten yang benar. Maka, sudah saatnya kita butuh teknologi digital yang bisa memverifikasi otoritas konten keagamaan secara sistematis.

Viral Belum Tentu Valid

Media sosial telah menjadi mimbar baru bagi dakwah, namun keterbukaan ini juga membawa konsekuensi besar dalam hal keabsahan informasi keagamaan yang disebarkan.

Di era algoritma, konten yang viral belum tentu valid. Banyak pesan agama dipotong dari konteksnya. Pesan suci keagamaan disebarkan oleh akun tanpa latar belakang keilmuan. Bahkan, digunakan sebagai alat provokasi dan ujaran kebencian. Hal ini diperparah oleh rendahnya literasi keagamaan digital di kalangan masyarakat umum.

Baca juga: Transformasi Otoritas Keagamaan: Siapa yang Berkuasa atas Agama di Era Digital?

Data dari salah satu pusat studi Islam di Jakarta menyebutkan bahwa sekitar 60% anak muda muslim Indonesia mendapat informasi agama dari media sosial. Namun, hanya 20% yang mengecek ulang kebenaran isi konten tersebut. Ini memperlihatkan betapa seriusnya dampak dari konten yang tak tervalidasi. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan dasar untuk mengecek sanad, sumber ayat atau hadis, serta konteks sejarahnya.

Jika media sosial adalah medan dakwah masa kini, maka tugas kita bukan sekadar menyebar, tapi memastikan yang disebar memang benar. Bagaimana jika kita mulai dengan membangun kesadaran dan budaya tabayyun digital?

Teknologi Validasi Konten Islam

Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana membangun sistem verifikasi dan validasi konten Islam berbasis literatur klasik dan pendekatan digital yang kredibel.

Sumber-sumber keislaman klasik seperti kitab kuning, karya ulama salaf, dan tafsir otoritatif sangat kaya. Namun belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem digital yang mudah diakses dan digunakan untuk validasi konten harian. Di sisi lain, algoritma media sosial bekerja berdasarkan engagement, bukan berdasarkan kebenaran otoritatif.

Konten Keislaman Antara Viral dan Valid

Konten Keislaman Antara Viral dan Valid

Inisiatif seperti digitalisasi kitab turats oleh lembaga Islam, atau pengembangan chatbot berbasis fikih klasik oleh beberapa pesantren digital, bisa menjadi langkah awal. Integrasi antara literatur klasik dan teknologi AI (Artificial Intelligence) memungkinkan dibangunnya machine learning yang bisa mengenali red flags konten menyimpang, seperti ayat yang salah kutip, hadist palsu, atau pernyataan keagamaan tanpa dalil.

Membangun algoritma validasi bukan sekadar kerja teknologi, tapi juga kolaborasi keilmuan. Dibutuhkan tim kolaboratif antara ulama, teknolog, dan komunikator untuk menciptakan sistem yang bisa menjembatani teks klasik dengan realitas digital.

Ciptakan Konten Bersanad, Bukan yang Sesat

Di era digital, menjaga otentisitas ajaran Islam bukan hanya tugas ulama, tapi tanggung jawab kolektif semua pengguna media sosial yang menyebarkan pesan agama.

Baca juga: Followers, Persepsi, dan Viralitas: Tiga Tuhan Baru di Dunia Digital

Tanpa intervensi serius, ekosistem digital kita akan terus dijejali oleh konten yang menyesatkan namun menghibur, atau provokatif tapi tidak berdasar. Ini membentuk opini publik yang keliru tentang Islam. Terutama bagi generasi muda yang belajar agama dari media sosial, bukan dari majelis ilmu.

Beberapa platform dakwah seperti NU Online, Hidayatullah.com, Bincangsyariah.com telah menerapkan sistem editorial dan kurasi konten berbasis sanad dan otoritas keilmuan. Langkah ini patut didukung dan diperluas dengan melibatkan komunitas digital untuk aktif melakukan pelaporan konten menyesatkan. Serta membangun literasi algoritmik di level akar rumput.

Dunia maya bukan dunia tanpa hukum. Jika konten keislaman di media sosial ingin menjadi sumber hidayah, maka ia harus dibingkai dalam ekosistem yang otentik, sehat, dan bertanggung jawab. Siapkah kita memulainya bersama?

Oleh: Rudi Trianto –  Mahasiswa Doktoral (S3) UIN Walisongo Semarang & Dosen STAI Luqman Al Hakim Surabaya

You may also like