Home Ilmu Komunikasi Transformasi Otoritas Keagamaan: Siapa yang Berkuasa atas Agama di Era Digital?

Transformasi Otoritas Keagamaan: Siapa yang Berkuasa atas Agama di Era Digital?

by Rudi Trianto
Transformasi Otoritas Keagamaan Siapa yang Berkuasa atas Agama di Era Digital

Transformasi Otoritas Keagamaan: Siapa yang Berkuasa atas Agama di Era Digital? Dulu, umat mencari fatwa ke pesantren atau majelis taklim. Kini, cukup scroll Instagram atau nonton YouTube. Di balik kemudahan ini, ada pergeseran besar yang jarang disadari, yakni otoritas keagamaan tidak lagi hanya dipegang oleh yang bersarung, berkopyah, ataupun bersurban, tetapi juga oleh yang bersetting studio. Lalu, siapa yang kini menjadi rujukan umat? Dan apa dampaknya bagi keutuhan pemahaman keagamaan?

Era Baru, Otoritas Keagamaan Baru

Perkembangan teknologi digital telah mendisrupsi banyak sektor, tak terkecuali bidang keagamaan. Jika sebelumnya otoritas keagamaan dimonopoli oleh institusi formal seperti pesantren, perguruan tinggi Islam, dan majelis ulama, kini muncul gelombang baru figur keagamaan yang lahir dari ruang digital. Mereka dikenal luas bukan karena latar belakang akademik atau sanad keilmuan, tapi karena kemampuan komunikasi yang apik dan kehadiran mereka yang konsisten di media sosial.

Pergeseran ini tidak terjadi tanpa sebab. Dunia digital menciptakan ruang yang lebih demokratis dan partisipatif, di mana siapa pun bisa menyampaikan pemikirannya, termasuk dalam urusan agama. Platform seperti YouTube, TikTok, hingga podcast menjadikan produksi dan distribusi konten dakwah semakin mudah, murah, dan cepat. Di tengah tren ini, banyak tokoh non-tradisional yang tampil menyuarakan tafsir keagamaan dengan gaya milenial yang lebih membumi dan mudah diterima.

Baca juga: Followers, Persepsi, dan Viralitas: Tiga Tuhan Baru di Dunia Digital

Fenomena ini bisa dilihat dari popularitas sejumlah influencer muslim seperti ustadz selebgram, dai muda TikTok, dan konten kreator bertema ke-Islaman yang memiliki jutaan pengikut. Bahkan, mereka kerap diundang dalam forum keagamaan nasional maupun internasional, menggantikan peran tokoh agama konvensional. Penetrasi dakwah digital ini membuat akses terhadap ajaran Islam menjadi lebih luas, tapi sekaligus menyisakan tanda tanya soal validitasnya.

Munculnya figur keagamaan digital menandai pergeseran otoritas yang tidak bisa dihindari. Namun, tanpa kerangka validasi yang jelas, umat bisa terombang-ambing antara pesan yang menggugah dan kebenaran yang mendalam.

Ketika Otoritas Tak Lagi Diverifikasi

Perluasan otoritas keagamaan ke ranah digital membawa konsekuensi serius, yakni terjadinya krisis kredibilitas dalam penyampaian ajaran Islam. Di saat siapa pun bisa menjadi penceramah hanya bermodal kamera dan koneksi internet, kualitas pesan agama menjadi sulit dikontrol. Dampaknya, muncul pemahaman-pemahaman keagamaan yang menyimpang, dangkal, atau bahkan provokatif.

Tidak semua konten dakwah yang viral di dunia maya didasarkan pada pengetahuan agama yang mumpuni. Banyak dari mereka yang populer di media sosial ternyata tidak pernah menempuh pendidikan agama formal, tidak memiliki sanad keilmuan, atau bahkan menyampaikan narasi keagamaan bercampur teori konspirasi dan sentimen sektarian. Popularitas dijadikan tolok ukur kebenaran, bukan lagi argumentasi ilmiah.

Survei sebuah lembaga pusat kajian Islam pada 2021 mengungkap bahwa 42 persen konten dakwah digital yang tersebar di media sosial tidak merujuk pada sumber primer yang otoritatif seperti Al-Qur’an, Hadis, atau kitab-kitab klasik. Bahkan, 15 persen di antaranya mengandung unsur ujaran kebencian dan intoleransi atas nama agama. Hal ini mengindikasikan lemahnya sistem verifikasi konten keagamaan di dunia digital.

Krisis kredibilitas dalam otoritas digital tidak bisa dianggap enteng. Ketika ilmu tidak lagi menjadi fondasi utama dalam dakwah, maka yang terjadi bukanlah pencerahan, melainkan pembingungan massal.

Transformasi Otoritas Keagamaan Siapa yang Berkuasa atas Agama di Era Digital

Transformasi Otoritas Keagamaan Siapa yang Berkuasa atas Agama di Era Digital

Solusi dari Kegamangan Otoritas

Solusi atas kegamangan otoritas keagamaan digital bukan dengan menolak teknologi, melainkan dengan membangun literasi keagamaan yang kuat dan menciptakan kolaborasi antara ulama klasik dan komunikator digital. Hal ini penting agar pesan agama tetap otentik namun bisa menjangkau publik yang semakin digital native.

Literasi digital dan keagamaan memungkinkan publik untuk lebih kritis dalam menyerap informasi. Mereka bisa menilai mana dakwah yang berbasis ilmu dan mana yang hanya mendompleng tren. Sementara itu, kolaborasi antara ulama dan konten kreator memungkinkan penyampaian ajaran Islam tetap dalam koridor ilmiah, namun dikemas secara menarik dan kontekstual.

Baca juga: Dosen, Jurnal, dan Kapitalisme Ilmu: Saat Pikiran Harus Berbayar

Sejumlah inisiatif telah dimulai, seperti program pelatihan “Santri Digital Preneur Indonesia” yang digagas Kemenag RI dan beberapa komunitas kreatif Islami. Program ini bertujuan membekali para dai dan santri dengan keterampilan membuat konten dakwah yang adaptif terhadap budaya digital, namun tetap menjaga akurasi dalil dan etika penyampaian. Beberapa ustadz muda lulusan pesantren kini aktif di YouTube dan TikTok, menyampaikan tafsir Al-Qur’an dengan pendekatan storytelling dan visual yang kuat.

Di tengah derasnya arus digital, menjaga otoritas agama bukan berarti melawan zaman. Justru, dengan memperkuat literasi dan menjalin sinergi, ruang digital bisa menjadi taman dakwah yang subur sekaligus sehat.

Menata Ulang Otoritas Keagamaan

Transformasi otoritas keagamaan yang sedang terjadi menuntut penataan ulang yang lebih visioner. Otoritas tidak cukup hanya berbasis kepakaran teks, tapi juga harus mampu menjawab realitas umat yang berubah dengan cepat. Teknologi dan digitalisasi harus menjadi mitra, bukan lawan, dalam membumikan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Perubahan cara beragama generasi digital tidak bisa dihentikan. Yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan pendekatan dakwah tanpa kehilangan substansi. Para ulama dituntut untuk keluar dari zona nyaman dan hadir dalam platform-platform kekinian dengan semangat tabsyir (menggembirakan), bukan takfir (mengafirkan). Dakwah berbasis nilai akan jauh lebih efektif daripada sekadar ceramah satu arah.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam mulai membuka mata terhadap pentingnya komunikasi digital. Beberapa Universitas Islam misalnya, telah memiliki kanal YouTube resmi berisi ceramah para syekh dan diskusi ilmiah. Di Indonesia, Pesantren tradisional mulai aktif mendorong santri dengan membuat konten edukatif yang membahas fiqh, akidah, dan akhlak dalam format yang ramah generasi Z.

Penataan ulang otoritas keagamaan harus diletakkan di atas kesadaran bahwa teknologi bukan musuh agama. Ketika ilmu dan teknologi berjalan seiring, maka dakwah tak hanya akan relevan di hati umat, tapi juga kokoh di tengah tantangan zaman.

Oleh: Rudi Trianto –  Mahasiswa Doktoral (S3) UIN Walisongo Semarang & Dosen KPI di STAI Luqman Al Hakim Surabaya

You may also like