Oleh: Dr. Arif Mulyohadi, SH., M.Hum. – Praktisi dan Akademisi di Kampus Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan dan Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Orwil Jatim
Kriminalisasi Aktivisme di Era Digital Antara Perlindungan Negara dan Hak Demokrasi. Perkembangan teknologi digital telah mengubah wajah aktivitas sosial dan politik secara signifikan. Aktivisme yang sebelumnya hanya berlangsung di ruang fisik kini meluas ke ranah digital melalui media sosial dan platform daring lainnya. Ruang digital menjadi arena baru bagi warga negara untuk mengekspresikan aspirasi, menyampaikan kritik, dan mengawal kebijakan publik. Namun, di sisi lain, muncul kecenderungan kriminalisasi terhadap aktivis yang menyuarakan pendapatnya secara digital. Kasus penangkapan dan penyidikan dengan pasal pidana seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap menimbulkan polemik, memicu kekhawatiran atas pembatasan kebebasan berekspresi dan demokrasi.
Menurut Laporan Tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2023, terdapat peningkatan 35% kasus pelaporan yang berkaitan dengan dugaan kriminalisasi ekspresi digital dibandingkan tahun sebelumnya. Fenomena ini menunjukkan betapa mendesaknya perhatian terhadap penegakan hukum yang adil di ranah digital.
Daftar Isi
Aktivisme Digital sebagai Wujud Demokrasi Modern
Aktivisme digital bukan sekadar fenomena teknologi, melainkan wujud perkembangan demokrasi di era modern. Media sosial memudahkan masyarakat mengorganisir diri, menyuarakan suara minoritas, dan membangun opini publik secara cepat dan luas. Negara demokratis seharusnya menghargai dan melindungi ruang ini sebagai bagian dari hak asasi warga negara. Khususnya kebebasan berpendapat dan berserikat yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai instrumen internasional, seperti Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Studi oleh Ningsih dan Wahyudi (2022) dalam jurnal Hukum dan Pembangunan menggarisbawahi bahwa media sosial telah menjadi alat penting dalam proses pengawasan publik terhadap kebijakan pemerintah serta memperkuat keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan politik.
Baca juga: Kampanye Politik Antara Rayuan Persuasif dan Serangan Black Campaign
Namun, kebebasan tersebut harus dijalankan dengan tanggung jawab, menghindari fitnah, ujaran kebencian, dan penyebaran hoaks yang dapat merugikan pihak lain. Di sinilah peran negara dalam melakukan regulasi dan penegakan hukum yang proporsional dan berkeadilan menjadi sangat penting.
Benturan Antara Perlindungan Negara dan Hak Demokrasi
Kriminalisasi aktivisme digital kerap terjadi dengan dalih menjaga ketertiban umum, keamanan negara, dan mencegah penyebaran berita bohong. Undang-Undang ITE sering dijadikan instrumen untuk menjerat aktivis yang kritis terhadap pemerintah atau kebijakan publik. Praktik ini menimbulkan kekhawatiran bahwa hukum pidana digunakan sebagai alat represif untuk membungkam suara kritis dan mengurangi ruang demokrasi.
Salah satu kasus yang paling disorot adalah penahanan aktivis mahasiswa dan jurnalis yang menggunakan media sosial untuk menyuarakan pendapat mereka. Menurut data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2023, terdapat 27 kasus kriminalisasi yang menggunakan pasal-pasal UU ITE, dengan 60% di antaranya terkait dengan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Fenomena ini mengundang pertanyaan besar: Apakah negara melindungi warga negaranya atau justru mengekang hak mereka? Terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan yang mengancam prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Penegakan hukum yang tidak proporsional dan tidak transparan akan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan memperburuk kondisi demokrasi di Indonesia.

Kriminalisasi Aktivisme di Era Digital Antara Perlindungan Negara dan Hak Demokrasi
Kajian Yuridis dan Praktik Penegakan Hukum
Secara yuridis, pasal-pasal dalam UU ITE yang sering digunakan untuk kriminalisasi aktivis seperti Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, Pasal 28 tentang penyebaran informasi bohong, dan Pasal 29 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, memiliki ruang interpretasi yang sangat luas. Hal ini memungkinkan aparat penegak hukum menafsirkan secara subyektif dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menarik untuk dicatat bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) pada Putusan Nomor 50/PUU-XVII/2019 telah mengamanatkan perlunya klarifikasi definisi “berita bohong” dan penegakan prinsip proporsionalitas dalam penanganan perkara UU ITE. Namun, implementasi putusan ini belum optimal dalam praktik penegakan hukum.
Selain itu, proses hukum yang berlarut-larut dan penggunaan ancaman pidana yang berat tanpa pendekatan restoratif semakin memperburuk posisi aktivis. Dalam beberapa kasus, proses hukum justru dijadikan alat intimidasi sehingga melumpuhkan gerakan sosial yang sah dan konstruktif. Praktik tersebut bertentangan dengan prinsip proporsionalitas dan perlindungan hak asasi yang menjadi pilar negara demokrasi.
Solusi dan Rekomendasi Kebijakan
Menghadapi persoalan kriminalisasi aktivisme digital, perlu adanya reformasi hukum dan kebijakan yang menjamin perlindungan hak asasi manusia sekaligus menjaga ketertiban umum. Pertama, revisi UU ITE harus dilakukan agar pasal-pasal karet yang berpotensi disalahgunakan dihapus atau diperjelas. Inisiatif DPR RI dalam pembahasan revisi UU ITE pada 2024 harus menjadi momentum untuk mengedepankan asas keadilan dan kepastian hukum.
Kedua, penerapan prinsip proporsionalitas dalam penegakan hukum harus menjadi standar mutlak, termasuk mengedepankan pendekatan restoratif dan mediasi dalam menyelesaikan sengketa. Pengadilan yang lebih ramah terhadap hak asasi perlu dikembangkan sebagai wujud keadilan restoratif.
Baca juga: Kenali 5 Jenis Opini Publik Dari Fakta hingga Manipulasi
Ketiga, penguatan lembaga perlindungan hak asasi manusia dan pengawasan terhadap aparat penegak hukum harus ditingkatkan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Peningkatan kapasitas Komnas HAM dan Ombudsman dalam mengawasi kasus-kasus ini sangat diperlukan.
Keempat, edukasi publik mengenai hak dan kewajiban beraktivitas di ruang digital harus diperluas agar masyarakat dapat menggunakan media sosial secara bertanggung jawab tanpa takut kriminalisasi. Program literasi digital dan hukum harus disinergikan dengan lembaga pendidikan dan komunitas masyarakat.
Kriminalisasi aktivisme di era digital adalah tantangan serius bagi demokrasi Indonesia. Negara harus mampu menyeimbangkan antara perlindungan terhadap keamanan dan ketertiban umum dengan penghormatan atas hak demokrasi yang fundamental, khususnya kebebasan berekspresi. Hukum tidak boleh dijadikan alat represi politik, melainkan harus menjadi instrumen keadilan yang melindungi semua warga negara secara setara.
Reformasi hukum dan penguatan institusi penegak hak asasi manusia menjadi langkah strategis agar demokrasi di Indonesia dapat tumbuh subur dalam era digital yang semakin kompleks ini. Aktivisme digital yang kritis dan konstruktif harus dihargai sebagai bagian dari kemajuan masyarakat dan negara demokrasi yang sehat.