Home Komunikasi Pemasaran Strategi Biaya: Kunci Pemasaran Perguruan Tinggi Swasta

Strategi Biaya: Kunci Pemasaran Perguruan Tinggi Swasta

by Rudi Trianto
Strategi Biaya Kunci Pemasaran Perguruan Tinggi Swasta

Strategi Biaya: Kunci Pemasaran Perguruan Tinggi Swasta. Perguruan Tinggi Swasta (PTS) hari ini berada di tengah tekanan besar. Persaingan makin ketat dan persepsi publik bahwa kuliah selalu mahal. Di saat yang sama, jumlah mahasiswa nasional masih sangat besar dan peluang tetap terbuka bagi kampus yang cermat membaca strategi. Sejumlah PTS terbukti mampu bertahan bahkan tumbuh dengan pendekatan biaya yang cerdas dan kolaboratif. Pertanyaannya, strategi biaya seperti apa yang relevan dan realistis bagi PTS di Indonesia saat ini?

Tantangan Persepsi Mahal dan Persaingan Kian Ketat

Data BPS dan PDDikti tahun 2025 mencatat Indonesia memiliki 4.416 perguruan tinggi, dengan mayoritas adalah PTS. Namun jumlah PTS justru mengalami penurunan akibat kebijakan merger dan tuntutan profesionalisme pengelolaan. Di sisi lain, sekitar 9 juta mahasiswa tersebar di berbagai jenis kampus, dengan porsi terbesar masih berada di PTS. Fakta ini menunjukkan bahwa pasar pendidikan tinggi belum menyusut, tetapi persaingannya semakin tajam.

Masalah utama yang dihadapi PTS bukan hanya soal kualitas akademik, tetapi juga persepsi biaya. Di mata masyarakat, kuliah identik dengan mahal. Persepsi ini sering kali membuat calon mahasiswa dan orang tua ragu, bahkan sebelum mengenal produk pendidikan yang ditawarkan kampus. Akibatnya, target Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) kerap dibebankan sepenuhnya kepada tim marketing, seolah persoalan ini hanya urusan promosi, bukan kebijakan strategis institusi.

Baca juga: Pemasaran Digital Beda Platform Beda Audiens Beda Strategi

Padahal, di era kompetisi terbuka—termasuk munculnya PTN Badan Hukum yang membuka kelas dan cabang baru—PTS dituntut semakin profesional, baik di level manajemen maupun teknis pemasaran. Jika kebijakan biaya tidak dirancang secara strategis, kampus berisiko kehilangan calon mahasiswa potensial. Di sinilah banyak PTS terjebak: sibuk beriklan, tetapi lupa menjawab kegelisahan utama publik, yakni soal keterjangkauan biaya dan kepastian studi.

Tantangan ini menegaskan bahwa strategi pemasaran PTS tidak cukup bertumpu pada promosi semata. Persoalan biaya justru menjadi pintu pertama yang menentukan apakah calon mahasiswa akan melirik atau berpaling dari sebuah kampus. Karena itu, kebijakan harga perlu dirancang secara berpihak, terencana, dan diposisikan sebagai investasi jangka panjang bagi keberlangsungan PTS.

Strategi Biaya Kunci Pemasaran Perguruan Tinggi Swasta

Strategi Biaya Kunci Pemasaran Perguruan Tinggi Swasta

Strategi Biaya Kolaborasi dan Investasi

Pengalaman sejumlah PTS yang sukses dan stabil menunjukkan bahwa strategi biaya memegang peran kunci. Kampus seperti Unissula, UMP, dan Untag Surabaya mampu menarik ribuan mahasiswa baru dengan pendekatan harga yang realistis dan kolaboratif. Polanya relatif serupa: membuka jalur kerja sama, menyediakan jalur beasiswa, serta menjaga jalur reguler tetap kompetitif. Skema 40 persen kerja sama, 20 persen beasiswa, dan 40 persen reguler terbukti efektif menjawab kekhawatiran biaya.

Kolaborasi menjadi kata kunci. Unissula menggandeng berbagai pondok pesantren dengan sistem kelas hybrid dan potongan biaya. UMP dan Untag Surabaya aktif melakukan kerja sama non-kelembagaan dengan SMA melalui roadshow dan program diskon pendidikan. Model ini menempatkan biaya kuliah sebagai instrumen inklusi, bukan sekadar sumber pemasukan. Yang terpenting, biaya sukses PMB diposisikan sebagai investasi, bukan biaya operasional semata.

Baca juga: Website Marketing dalam Komunikasi Pemasaran Digital

Bagi PTS lain, termasuk kampus keislaman, strategi ini sangat relevan. Pembentukan tim khusus PMB yang fokus pada kolaborasi kelembagaan, penyusunan kebijakan harga yang fleksibel, serta kemudahan sistem perkuliahan dapat menjadi pembeda. Goodwill pimpinan kampus harus diwujudkan dalam kebijakan nyata, bukan hanya slogan pemasaran.

Pada akhirnya, strategi biaya yang tepat bukan berarti menjual murah tanpa arah. Melainkan merancang akses pendidikan yang adil dan berkelanjutan. Kebijakan harga harus dibaca sebagai investasi, bukan sekadar hitung-hitungan pemasukan jangka pendek. Ketika biaya kuliah dirancang secara kolaboratif dan inklusif, kampus membuka ruang partisipasi lebih luas. Dengan cara inilah PTS tidak hanya menyelamatkan target PMB, tetapi juga menegaskan peran sosialnya dalam mencerdaskan bangsa.

You may also like