Home Ilmu Komunikasi Followers, Persepsi, dan Viralitas: Tiga Tuhan Baru di Dunia Digital

Followers, Persepsi, dan Viralitas: Tiga Tuhan Baru di Dunia Digital

by Rudi Trianto
Followers, Persepsi, dan Viralitas Tiga Tuhan Baru di Dunia Digital

Oleh: Rudi Trianto – Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang
Followers, Persepsi, dan Viralitas: Tiga Tuhan Baru di Dunia Digital. Kita sedang hidup di zaman di mana suara netizen bisa mengguncang dunia, membentuk opini, bahkan menentukan nasib seseorang. Ponsel di tangan bukan hanya alat komunikasi, tapi juga saksi dan sekaligus hakim atas peristiwa yang tersebar luas. Di tengah dunia maya yang hiruk pikuk, tiga postulat baru muncul dan mengubah cara kita melihat kebenaran dan nilai seseorang. Kini, yang viral dianggap benar, dan yang diam bisa dicurigai salah.

Suara Netizen Suara Tuhan

Di era digital, kekuatan suara netizen seperti memiliki kekuatan ilahi: bisa mengangkat seseorang setinggi langit, atau menjatuhkannya dalam sekejap. Sumber kebenaran tidak lagi datang dari media resmi atau tokoh masyarakat, melainkan dari unggahan viral dan komentar berantai. Yang ramai dibicarakan di linimasa dianggap paling benar.

Fenomena ini muncul karena media sosial memberi ruang besar bagi partisipasi publik. Sayangnya, kecepatan berbagi sering kali melampaui proses klarifikasi. Orang lebih cepat menyebarkan potongan video atau caption tanpa tahu cerita lengkap di baliknya. Ini menjadi ruang subur bagi penghakiman massal yang bisa berdampak panjang.

Baca juga: Kriminalisasi Aktivisme di Era Digital Antara Perlindungan Negara dan Hak Demokrasi

Salah satu contohnya terjadi pada kasus video viral penganiayaan siswa SMP di Cilacap pada Juli 2023. Video berdurasi 29 detik itu menyebar luas dan langsung memicu kemarahan publik. Namun belakangan diketahui bahwa konteksnya tidak sepenuhnya seperti yang tampak. Polisi pun akhirnya memberi penjelasan bahwa pihak sekolah dan keluarga sudah menyelesaikan kasus itu secara damai, dan tidak ada laporan hukum resmi yang dibuat (sumber: Kompas.com, 18 Juli 2023).

Dari peristiwa ini, kita belajar bahwa kekuatan netizen memang bisa membawa keadilan, tapi juga bisa menjadi bumerang. Maka penting bagi masyarakat untuk lebih bijak, tidak buru-buru menarik kesimpulan, dan selalu menunggu klarifikasi. Budaya tabayyun—memverifikasi sebelum menyebarkan—harus menjadi bagian penting dari etika digital kita.

Nilai Kebenaran Baru Berdasarkan Persepsi

Di dunia yang serba cepat dan penuh suara ini, kebenaran kini lebih sering ditentukan oleh persepsi publik daripada fakta objektif. Bukan lagi soal data dan logika semata, tapi bagaimana cerita itu disampaikan dan siapa yang menyampaikannya. Narasi yang emosional sering kali lebih mudah diterima daripada penjelasan panjang lebar.

Mengapa ini terjadi? Karena algoritma media sosial lebih menyukai konten yang memicu emosi. Video yang menyentuh hati atau cerita yang memancing kemarahan lebih cepat menyebar daripada grafik atau tabel data. Akibatnya, masyarakat lebih cepat percaya pada sesuatu yang menggugah, meski belum tentu benar.

Contohnya bisa dilihat dalam kasus hoaks tentang “Telur palsu dari plastik” yang beberapa kali viral di berbagai daerah di Indonesia, seperti yang terjadi di Depok pada April 2023. Setelah diteliti oleh BPOM dan Dinas Ketahanan Pangan, hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa telur tersebut asli dan aman dikonsumsi. Tapi tetap saja, persepsi publik sempat terguncang dan penjualan telur menurun di beberapa tempat.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa persepsi dapat membentuk “kebenaran sementara” yang sangat memengaruhi keputusan publik. Maka penting untuk memperkuat budaya literasi, membiasakan klarifikasi, dan membedakan antara cerita yang menghibur dengan informasi yang benar. Kebenaran tidak boleh hanya dinilai dari berapa kali ia dibagikan.

Followers, Persepsi, dan Viralitas Tiga Tuhan Baru di Dunia Digital

Followers, Persepsi, dan Viralitas Tiga Tuhan Baru di Dunia Digital

Jumlah Honor Ditentukan Jumlah Followers

Di dunia profesional masa kini, popularitas di media sosial bisa berdampak langsung pada besaran honor dan peluang kerja sama. Jumlah pengikut, tingkat interaksi, dan daya tarik digital sering kali menjadi ukuran baru dalam menilai seseorang, bahkan lebih dari pengalaman atau keahlian teknis.

Ini terjadi karena perusahaan dan brand mengejar jangkauan pasar. Mereka lebih tertarik pada sosok yang bisa menjangkau ribuan orang lewat satu unggahan, ketimbang mereka yang punya pengetahuan mendalam tapi kurang dikenal. Atensi publik telah menjadi aset ekonomi yang nyata.

Baca juga: Pemasaran Digital Beda Platform Beda Audiens Beda Strategi

Salah satu contohnya bisa dilihat pada kasus selebgram Jessica Jane, adik dari YouTuber Jess No Limit. Meskipun bukan akademisi atau pakar kesehatan, ia pernah diundang dalam berbagai kampanye kesehatan dan kecantikan karena jangkauan media sosialnya yang sangat luas. Ini menunjukkan bahwa kekuatan followers bisa menjadi “kartu undangan” ke berbagai kesempatan profesional.

Ukuran nilai seseorang di era digital bukan hanya tentang apa yang dia tahu, tetapi seberapa luas pengaruhnya di media sosial. Ini bukan sesuatu yang sepenuhnya buruk, tapi harus diimbangi dengan kesadaran akan kualitas. Jika tidak, kita hanya akan terus menilai dari angka, bukan dari isi.

Menemukan Titik Tengah yang Sehat

Ketiga postulat digital ini mencerminkan wajah baru dari dunia maya yang kita tinggali hari ini. Media sosial telah merevolusi cara kita berkomunikasi, berpikir, bahkan menilai seseorang. Namun revolusi ini datang dengan risiko, ketika semuanya dinilai dari yang viral dan disukai, kita kehilangan keseimbangan antara kecepatan informasi dan kedalaman makna.

Itulah mengapa kita perlu mencari jalan tengah yang tidak ekstrem. Popularitas tidak harus dihapuskan, tapi jangan sampai menggantikan kualitas. Keterlibatan publik perlu dihargai, tapi tetap harus ada ruang untuk konten yang membangun, mendalam, dan bertanggung jawab. Literasi digital harus menjadi fondasi baru dalam pendidikan, bukan hanya bagi anak-anak, tetapi juga orang dewasa yang menjadi pengguna aktif media sosial setiap harinya.

Di banyak negara sudah mulai menerapkan kebijakan literasi media digital dalam kurikulum pendidikan. Di Indonesia, program Cerdas Bermedia Sosial yang digagas Kemenkominfo bersama Siberkreasi terus mendorong masyarakat untuk cakap digital dan tidak mudah termakan hoaks. Kampanye ini menunjukkan bahwa negara pun menyadari pentingnya menghadapi era viral ini dengan kesiapan mental dan pengetahuan.

Kita perlu membangun budaya online yang lebih tenang, berpikir panjang sebelum membagikan, dan tidak langsung menyimpulkan hanya dari satu potongan informasi. Karena dunia yang terlalu cepat percaya adalah dunia yang mudah tergelincir. Dan jika kita ingin masa depan yang lebih sehat, maka keseimbangan antara emosi, data, dan akhlak digital harus dijaga bersama.

You may also like