Home Ilmu Komunikasi Paradigma Positivisme-Empiris dalam Ilmu Komunikasi

Paradigma Positivisme-Empiris dalam Ilmu Komunikasi

by Rudi Trianto
Paradigma Positivisme-Empiris dalam Komunikasi

Paradigma Positivisme-Empiris dalam Komunikasi. Paradigma ini memiliki peran krusial dalam evolusi studi komunikasi, membentuk fondasi ilmiah dengan penekanan pada pengukuran dan observasi objektif. Sejarah dan perkembangannya yang bersandar pada filsafat positivisme. Terutama diakui melalui kontribusi tokoh-tokoh seperti Auguste Comte dan Emile Durkheim, menandai era di mana komunikasi dipahami sebagai fenomena yang dapat diukur dan diobservasi secara ilmiah. Di Indonesia, pemahaman terhadap paradigma ini juga terbentuk melalui karya-karya para ahli lokal yang mengadopsi pendekatan positivisme-empiris dalam memahami dinamika komunikasi manusia, walaupun tidak luput dari kritik terkait kurangnya sensitivitas terhadap konteks budaya lokal.

Para ahli positivisme-empiris seperti Harold D. Lasswell, Paul Lazarsfeld, dan Wilbur Schramm memainkan peran kunci dalam membentuk pandangan dan teori dalam paradigma ini. Model komunikasi yang diperkenalkan oleh Lasswell, terutama melalui karyanya “The Structure and Function of Communication in Society” (1948), menekankan fungsi dan efek komunikasi, memberikan landasan untuk pemahaman ilmiah terhadap fenomena komunikasi.

Pandangan paradigma positivisme-empiris dalam studi komunikasi juga tercermin dalam teori-teori seperti teori efek media massa, pemrosesan informasi, dan komunikasi organisasi. Dalam penerapannya, penelitian komunikasi di Indonesia mengadopsi metode kuantitatif, seperti survei dan eksperimen, untuk mengukur dampak media terhadap masyarakat. Walaupun memberikan kontribusi yang besar dalam ilmu komunikasi, pendekatan positivisme-empiris juga mendapatkan kritik, baik di tingkat global maupun lokal, yang menyoroti ketidakmampuannya dalam menggali makna kompleks dalam komunikasi manusia.

Sejarah dan Perkembangan

Paradigma positivisme-empiris dalam studi komunikasi memiliki akar sejarah yang kuat dalam perkembangan positivisme di ilmu pengetahuan. Sejarahnya dapat ditelusuri kembali ke abad ke-19 ketika filsuf seperti Auguste Comte dan Emile Durkheim memperkenalkan gagasan positivisme sebagai pendekatan ilmiah yang mengutamakan pengamatan dan pengukuran. Dalam konteks komunikasi, pendekatan ini mulai mendapatkan perhatian pada awal abad ke-20, terutama dengan berkembangnya penelitian dalam bidang psikologi, sosiologi, dan statistik terapan.

Para ahli positivisme-empiris di bidang komunikasi, seperti Harold D. Lasswell, Paul Lazarsfeld, dan Wilbur Schramm, mendorong pendekatan ilmiah yang dapat diukur dan diobservasi untuk memahami fenomena komunikasi. Mereka berpendapat bahwa melalui observasi dan analisis data empiris, kita dapat mengungkap pola dan hukum-hukum yang terkait dengan komunikasi manusia. Paradigma positivisme-empiris dalam studi komunikasi memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan perkembangan positivisme dalam ilmu pengetahuan.

Para Ahli dan Pemikir

1. Harold D. Lasswell. Dikenal sebagai salah satu tokoh utama dalam pengembangan paradigma positivisme-empiris dalam komunikasi. Dalam bukunya yang berjudul “The Structure and Function of Communication in Society” (1948), Lasswell mengemukakan model komunikasi yang menekankan fungsi-fungsi komunikasi dan bagaimana pesan mempengaruhi penerima (Lasswell, 1948).

Baca juga: Tiga Paradigma Pemikiran Komunikasi

2. Paul Lazarsfeld. Paul Lazarsfeld, bersama dengan Stanton dan McCanne, menjadi pionir penelitian dalam paradigma positivisme-empiris. Mereka mengembangkan model dua arah dalam komunikasi, menekankan pentingnya efek media dan interaksi sosial dalam membentuk perilaku komunikasi (Lazarsfeld, Stanton, & McCanne, 1944). bersama Stanton dan McCanne, juga berperan penting dalam pengembangan paradigma ini.

3. Wilbur Schramm. Sebagai salah satu pendiri bidang komunikasi massa, Wilbur Schramm memberikan kontribusi besar terhadap paradigma positivisme-empiris. Dia menekankan pentingnya pengaruh media massa dalam masyarakat. Bukunya yang berjudul “Mass Communications and American Empire” (1964) menjadi salah satu rujukan penting dalam kajian positivisme-empiris di bidang komunikasi (Schramm, 1964). Wilbur Schramm, sebagai pendiri bidang komunikasi massa, memberikan sumbangan besar terhadap paradigma positivisme-empiris.

Pandangan dan Teori

Pandangan dalam paradigma positivisme-empiris melibatkan keyakinan bahwa realitas dapat diukur, diobservasi, dan diterjemahkan ke dalam data yang dapat diandalkan secara objektif. Dalam konteks komunikasi, teori-teori yang muncul dari paradigma ini sering kali bersifat deskriptif dan mengarah pada penjelasan fenomena komunikasi melalui pendekatan empiris. Beberapa teori yang terkait dengan paradigma ini antara lain:

1. Teori Efek Media Massa. Teori ini menitikberatkan pada pengaruh media massa terhadap perilaku dan sikap audiens. Penelitian dalam kerangka ini mencoba mengukur efek jangka panjang dari paparan media terhadap masyarakat (Rogers & Dearing, 1988).

2. Teori Pemrosesan Informasi. Teori ini mencoba menjelaskan bagaimana individu memproses informasi melalui media dan komunikasi. Pendekatan ini sering menggunakan metode eksperimental untuk mengukur respons dan pemahaman audiens terhadap pesan komunikasi (Perloff, 2013).

3. Teori Komunikasi Organisasi. Dalam paradigma positivisme-empiris, penelitian komunikasi organisasi sering mengadopsi pendekatan yang berfokus pada ukuran dan analisis data untuk memahami efektivitas komunikasi di dalam organisasi (McQuail, 2010)

Selain teori efek media massa, pemrosesan informasi, dan komunikasi organisasi, paradigma positivisme-empiris juga memberikan ruang bagi pengembangan teori-teori lain yang berkontribusi pada pemahaman ilmiah terhadap komunikasi manusia. Salah satu teori penting dalam konteks ini adalah Teori Penyebaran Inovasi yang dikemukakan oleh Everett Rogers. Teori ini memberikan kerangka kerja untuk memahami proses adopsi dan penyebaran ide atau inovasi dalam masyarakat. Yakni sengan penekanan pada faktor-faktor yang memengaruhi kecepatan dan cara orang menerima suatu gagasan baru (Rogers, 2003). Dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif, Rogers mengembangkan model matematis yang dapat mengukur dan memprediksi perilaku difusi inovasi.

Paradigma Positivisme-Empiris dalam Komunikasi

Paradigma Positivisme-Empiris dalam Komunikasi

Penerapan dalam Penelitian Komunikasi

Penerapan paradigma positivisme-empiris dalam penelitian komunikasi mencakup berbagai metode penelitian kuantitatif seperti survei, eksperimen, dan analisis statistik. Metode ini dirancang untuk mengumpulkan data yang dapat diukur dan diobservasi secara objektif. Sehingga mampu menghasilkan generalisasi dan hukum-hukum yang dapat diterapkan secara lebih luas. Penerapan paradigma positivisme-empiris dalam penelitian komunikasi mencakup metode penelitian kuantitatif seperti survei dan eksperimen.

Dalam penelitian komunikasi massa, misalnya, peneliti dapat menggunakan survei untuk mengumpulkan data tentang preferensi media atau efek paparan media terhadap penonton. Eksperimen juga sering digunakan untuk mengukur dampak langsung dari pesan komunikasi tertentu terhadap perilaku atau sikap audiens. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi pola yang konsisten dan mengukur efek secara kuantitatif (Shoemaker & Reese, 1996).

Kritik terhadap Paradigma Positivisme-Empiris

Meskipun paradigma positivisme-empiris memberikan kontribusi besar dalam pengembangan ilmu komunikasi, terdapat beberapa kritik terhadap pendekatan ini. Beberapa kritik yang sering muncul meliputi:

1. Reduksionisme. Kritik terhadap pendekatan ini mencakup argumen bahwa pendekatan positivisme-empiris cenderung menyederhanakan realitas kompleks menjadi variabel yang dapat diukur. Hal ini dapat mengabaikan konteks dan kompleksitas fenomena komunikasi yang sebenarnya.

Baca juga: Inilah 12 Model Komunikasi

2. Determinisme. Kritik lain menyatakan bahwa pendekatan ini dapat cenderung deterministik, yaitu menganggap bahwa perilaku komunikasi dapat dijelaskan dan diprediksi sepenuhnya melalui variabel-variabel yang dapat diukur. Ini mungkin mengabaikan faktor-faktor kualitatif yang juga memengaruhi komunikasi.

3. Ketidakmampuan Menggali Makna Kompleks. Kritik terhadap pendekatan ini juga mencakup ketidakmampuan untuk menggali makna kompleks dalam komunikasi manusia. Paradigma ini terkadang dianggap kurang mampu menjelaskan konteks sosial, budaya, dan historis yang dapat memengaruhi makna komunikasi (Craig & Muller, 2007).

Konklusi Paradigma Positivisme-Empiris

Secara keseluruhan, paradigma Positivisme-Empiris telah memainkan peran sentral dalam perkembangan studi komunikasi. Hal ini menandai fase di mana komunikasi dianggap sebagai fenomena yang dapat diukur dan diamati secara ilmiah. Sejarah dan perkembangannya yang bersumber dari filsafat positivisme memberikan landasan teoretis untuk pandangan ilmiah terhadap dinamika komunikasi manusia. Para ahli seperti Harold D. Lasswell, Paul Lazarsfeld, dan Wilbur Schramm menjadi tokoh-tokoh utama yang membentuk konsep dan teori dalam paradigma ini.

Pandangan paradigma Positivisme-Empiris, yang menekankan observasi objektif dan pengukuran, tercermin dalam teori-teori seperti efek media massa, pemrosesan informasi, dan komunikasi organisasi. Penerapannya melibatkan metode penelitian kuantitatif seperti survei dan eksperimen. Dirancang untuk menghasilkan data yang dapat diukur dan diobservasi secara objektif. Di Indonesia, pengaruh paradigma ini juga dapat dilihat dalam penelitian komunikasi lokal. Seperti studi yang mengadopsi model komunikasi Lasswell dalam konteks kampanye politik.

Namun, kritik terhadap paradigma Positivisme-Empiris juga perlu diakui. Reduksionisme, determinisme, dan ketidakmampuan dalam menggali makna kompleks dalam komunikasi manusia menjadi sorotan utama. Kritik ini mencerminkan tantangan untuk mengintegrasikan pendekatan ini dengan pemahaman yang lebih holistik tentang fenomena komunikasi. Dengan menyadari kelebihan dan keterbatasan paradigma ini, kita dapat memahami perannya dalam membentuk studi komunikasi global dan melihat arah perkembangan di masa depan.

You may also like