Inilah 12 Model Komunikasi. Aktifitas komunikasi, sebagai inti dari interaksi manusia, telah menjadi fokus kajian yang mendalam di bidang ilmu komunikasi. Model komunikasi memberikan pandangan abstrak tentang proses komunikasi, membantu merumuskan teori, dan menyarankan hubungan yang kompleks di antara elemen-elemen komunikatif. Seiring dengan perkembangan teori komunikasi, model-model tersebut memberikan kontribusi penting dalam memahami interaksi komunikatif dalam berbagai konteks.
B. Aubrey Fisher menegaskan bahwa model komunikasi adalah alat analisis yang membantu mengabstraksikan dan memilih bagian penting dari fenomena komunikatif (Fisher, 1987). Menyadari keterkaitan erat antara model dengan teori, Werner J. Severin dan James W. Tankard Jr. (2001) menekankan bahwa model komunikasi membantu tidak hanya menjelaskan proses komunikasi tetapi juga merumuskan dasar teori yang mendukungnya. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi sejumlah model komunikasi.
Daftar Isi
1. Model S-R (Stimulus-Response)
Model S-R, atau Stimulus-Response, menggambarkan komunikasi sebagai suatu proses yang sederhana, di mana pesan atau rangsangan (stimulus) menghasilkan reaksi atau respons (response) dari penerima. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pendekatan psikologi behavioristik yang menekankan observasi perilaku yang dapat diukur dan diprediksi. Dalam konteks ini, komunikasi dianggap sebagai suatu respons terhadap stimulus, seperti aksi verbal, isyarat nonverbal, atau tindakan, yang kemudian memicu respons dari orang lain.
Model ini menciptakan dasar untuk memahami interaksi sederhana antara individu dalam konteks komunikasi sehari-hari. Misalnya, dalam percakapan sehari-hari, ketika seseorang memberikan pertanyaan (stimulus), penerima kemudian memberikan jawaban (respons). Konsep ini dapat dihubungkan dengan teori belajar behavioristik, di mana individu belajar melalui asosiasi stimulus dan respons. Namun, model ini memiliki keterbatasan karena mengabaikan aspek-aspek kompleks komunikasi seperti konteks budaya, interpretasi pesan, dan peran pemikiran kognitif. Sebuah studi yang mendukung keterbatasan ini dapat ditemukan dalam karya-karya psikologi kognitif dan linguistik seperti yang dijelaskan oleh Gleitman dan Rozin (1977).
2. Model Aristoteles
Model Aristoteles, merupakan model klasik yang menitikberatkan pada retorika, menggambarkan komunikasi sebagai suatu proses yang melibatkan tiga elemen dasar: pembicara (ethos), pesan (logos), dan pendengar (pathos). Aristoteles menekankan bahwa sukses dalam berkomunikasi tergantung pada kemampuan pembicara untuk membangun kepercayaan (ethos), menggunakan logika yang baik (logos), dan membangkitkan emosi yang tepat (pathos) pada pendengar.
Ethos, sebagai unsur pertama, berfokus pada karakter dan kredibilitas pembicara. Logos menyoroti elemen logika dan argumen yang dibangun dalam pesan, sedangkan pathos mempertimbangkan penggunaan emosi untuk memengaruhi pendengar. Aristoteles meyakini bahwa kombinasi tiga elemen ini akan menciptakan keefektifan komunikasi yang optimal. Pendekatan Aristoteles tetap relevan dalam studi komunikasi modern, terutama dalam analisis retorika dan persuasi. Sebagai contoh, dalam konteks iklan, pemasar sering menggunakan strategi yang mengandalkan kepercayaan, logika, dan emosi untuk meraih perhatian konsumen.
3. Model Lasswell
Model Lasswell memberikan pendekatan yang lebih terstruktur dalam memahami komunikasi dengan merumuskan pertanyaan dasar “Who says what in which channel to whom with what effect” (Lasswell, 1948). Pertanyaan-pertanyaan ini mencakup elemen-elemen penting dalam komunikasi dan membantu memetakan prosesnya. Pertama, “Who” menunjukkan pelaku atau sumber pesan. “Says what” merujuk pada isi atau pesan yang disampaikan. “In which channel” mempertimbangkan saluran atau media komunikasi yang digunakan. “To whom” menunjukkan penerima pesan atau audiens. Terakhir, “With what effect” merinci dampak atau efek yang diinginkan atau terjadi akibat komunikasi tersebut.
Baca juga: 11 Rumus Sukses dalam Berkomunikasi
Model Lasswell memiliki keunggulan dalam memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami berbagai aspek komunikasi. Konsep ini dapat diterapkan dalam berbagai konteks, termasuk analisis media, politik, dan interaksi interpersonal. Sebagai contoh, dalam penelitian politik, model ini dapat digunakan untuk memahami bagaimana pesan politik disampaikan kepada pemilih melalui media massa dan bagaimana itu memengaruhi sikap dan perilaku mereka (McQuail, 2010).
4. Model Shannon dan Weaver
Model Shannon dan Weaver merupakan model komunikasi yang bersifat matematis, menekankan saluran, pemancar, dan penerima pesan (Shannon & Weaver, 1949). Shannon dan Weaver memandang komunikasi sebagai proses pengiriman informasi dari satu titik ke titik lain dengan mengidentifikasi komponen-komponen kunci yang terlibat. Saluran komunikasi menjadi fokus utama dalam model ini, mencerminkan pentingnya kejelasan dan ketepatan dalam penyampaian pesan. Selain itu, konsep gangguan (noise) yang diperkenalkan dalam model ini mengacu pada faktor-faktor yang dapat mengurangi kecermatan pesan selama transmisi.
Model ini memberikan fondasi untuk pemahaman komunikasi dalam konteks teknologi dan sistem informasi. Referensi modern yang mendukung konsep ini dapat ditemukan dalam karya-karya tentang teori informasi dan teori komunikasi media (McLuhan, 1964; McQuail, 2010). Sebagai contoh, dalam dunia digital saat ini, gangguan dalam bentuk informasi yang berlebihan atau cacat teknis dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi online.
5. Model Newcomb
Model Newcomb merupakan suatu pendekatan yang menjelaskan komunikasi sebagai interaksi manusia, dengan penekanan pada orientasi dan keseimbangan dalam sistem sosial (Severin & Tankard Jr., 2001). Newcomb menyoroti faktor-faktor penting seperti umpan balik, perbedaan, dan kemiripan dalam konteks komunikasi antarpribadi. Newcomb memandang komunikasi sebagai proses dinamis yang melibatkan pertukaran pesan dan respon di antara individu-individu dalam suatu kelompok atau masyarakat.
Dalam studi Newcomb tentang dinamika kelompok, umpan balik dianggap sebagai elemen kunci. Umpan balik merupakan respons atau reaksi terhadap pesan yang diterima oleh seseorang. Konsep ini mewakili proses saling memberi dan menerima informasi di dalam kelompok sosial. Selain itu, perbedaan dan kemiripan juga menjadi fokus penting dalam model ini. Newcomb menyatakan bahwa perbedaan dan kesamaan antarindividu memainkan peran kunci dalam membentuk pola interaksi dan hubungan di dalam kelompok sosial. Studi tentang perbedaan dan kesamaan dalam komunikasi antarpribadi memiliki dampak besar terutama dalam penelitian tentang konflik dan keselarasan dalam hubungan interpersonal (Riggio & Reichard, 2008).
6. Model Westley dan Maclean
Model Westley dan Maclean menggabungkan aspek antarpribadi, massa, dan umpan balik, dengan menekankan peran C sebagai objek orientasi (Severin & Tankard Jr., 2001). Mereka membedakan pesan purposif, yang disengaja dan memiliki tujuan tertentu, dengan pesan nonpurposif, yang bersifat acak dan tanpa tujuan spesifik dalam komunikasi. Konsep peran C (completeness) sebagai objek orientasi merupakan kontribusi utama model ini. C menunjukkan kebutuhan untuk memberikan informasi yang lengkap dan jelas dalam suatu pesan. Penekanan pada aspek antarpribadi dan massa mencerminkan pemahaman bahwa komunikasi tidak hanya terbatas pada interaksi individu, tetapi juga melibatkan dimensi sosial yang lebih luas.
Konsep ini sesuai dengan konsep-konsep dalam teori komunikasi massa dan interaksi sosial (McQuail, 2010; Guerrero, Andersen, & Afifi, 2017). Pembedaan antara pesan purposif dan nonpurposif menciptakan landasan bagi penelitian tentang efektivitas komunikasi dalam berbagai konteks, seperti media massa dan kampanye pemasaran. Studi oleh Griffin (2012) dalam bukunya “A First Look at Communication Theory” mengembangkan konsep ini lebih lanjut dengan menerapkan teori komunikasi untuk pemahaman pesan yang disengaja dan tidak disengaja dalam berbagai situasi.
7. Model Gerbner
Model Gerbner merupakan perluasan dari model Lasswell, dengan menambahkan aspek verbal dan diagramatik (Gerbner, 1956). Gerbner menggambarkan proses peristiwa, konteks, dan konsekuensi dalam komunikasi. Model ini terutama diterapkan dalam konteks media dan memperhitungkan dampaknya terhadap pemahaman dan persepsi masyarakat terhadap realitas. Aspek verbal dan diagramatik dalam model ini menyoroti kompleksitas pesan yang disampaikan oleh media, termasuk bahasa verbal dan representasi visual yang dapat memengaruhi pemahaman audiens. Hal ini konsisten dengan teori kritis media dan literatur komunikasi media (McQuail, 2010; Waisbord, 2018).
Model Gerbner menekankan bahwa media tidak hanya menjadi saluran transmisi pesan, tetapi juga menciptakan konstruksi realitas yang mempengaruhi pandangan dunia masyarakat. Dengan demikian, model ini memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana media memainkan peran dalam membentuk persepsi sosial dan budaya (Livingstone, 2009).
8. Model Berlo (SMCR)
Model Berlo, yang dikenal dengan akronim SMCR (Sumber, Pesan, Saluran, dan Penerima), merupakan model klasik dalam teori komunikasi (Berlo, 1960). SMCR Berlo menekankan kebutuhan penyandi dan penyandi balik dalam proses komunikasi. Sumber pesan harus dapat mengkodekan pesan dengan jelas, dan penerima pesan harus dapat menguraikan atau mendekode pesan tersebut dengan benar.
Model ini memberikan perhatian khusus pada saluran sebagai media atau cara pesan disampaikan dari sumber ke penerima. Berlo juga menyoroti pentingnya penyandi balik, di mana penerima pesan memberikan umpan balik kepada sumber pesan untuk memastikan pemahaman yang tepat. Model Berlo dapat ditemukan dalam literatur dasar teori komunikasi, dan konsep ini telah menjadi dasar bagi pengembangan model komunikasi yang lebih kompleks. Menurut Craig (1999), konsep penyandi dan penyandi balik dalam model ini terus diperluas dan dikembangkan dalam teori komunikasi kontemporer.
9. Model DeFleur
Model DeFleur, yang dikembangkan oleh Wilbur Schramm dan Everett Rogers, fokus pada komunikasi massa dengan memasukkan perangkat media dan umpan balik (DeFleur, 1966). DeFleur melihat komunikasi sebagai suatu operasi di dalam sistem teoretis dan menggambarkan isomorfisme sebagai konsekuensinya. Isomorfisme di sini mengacu pada keselarasan struktur dan fungsi di antara elemen-elemen dalam sistem. Dalam konteks komunikasi massa, DeFleur menekankan pentingnya memahami bagaimana media menyampaikan pesan kepada masyarakat dan bagaimana masyarakat meresponsnya.
Dalam McQuail’s Mass Communication Theory (McQuail, 2010), membahas konsep komunikasi massa dan dampaknya terhadap masyarakat. DeFleur juga membawa konsep umpan balik ke dalam pemahaman komunikasi massa. Umpan balik mengacu pada respons atau tanggapan dari audiens terhadap pesan yang disampaikan oleh media. Studi empiris oleh Ball-Rokeach dan DeFleur (1976) dalam teori ketergantungan media mengembangkan konsep ini lebih lanjut dengan menggambarkan bagaimana audiens bergantung pada media untuk informasi dan hiburan.
10. Model Gudykunst dan Kim
Model Gudykunst dan Kim adalah model antarbudaya yang menekankan interaksi antara orang dari budaya berbeda (Gudykunst & Kim, 1992). Gudykunst dan Kim memandang proses penyandian dan penyandian balik dalam komunikasi antarbudaya sebagai dipengaruhi oleh filter konseptual budaya, sosial, psikobudaya, dan lingkungan. Gudykunst dan Kim memberikan dasar bagi penelitian dan pengembangan strategi komunikasi yang efektif dalam situasi antarbudaya. Misalnya, penelitian oleh Ting-Toomey (1999) tentang teori face, yang mengkaji bagaimana individu dari budaya yang berbeda menjaga dan memahami wajah diri dalam interaksi antarbudaya.
Baca juga: 12 Prinsip Komunikasi Yang Penting Diketahui
Dalam buku “Communicating with Strangers: An Approach to Intercultural Communication” karya Gudykunst (2013), dalam konteks ini, filter konseptual memainkan peran sentral dalam pemahaman dan interpretasi pesan antarbudaya. Konsep ini berkaitan dengan pandangan dari teori relativitas budaya, yang menyoroti perbedaan dalam interpretasi dan makna di antara individu dari budaya yang berbeda (Kim, 2001).
11. Model Interaksional
Model Interaksional menggambarkan komunikasi sebagai pembentukan makna oleh peserta komunikasi melalui interaksi sosial (Severin & Tankard Jr., 2001). Konsep-konsep penting dalam model ini melibatkan diri sendiri, diri yang lain, simbol, makna, penafsiran, dan tindakan. Studi yang menggali aspek-aspek psikologis dan sosial dari interaksi manusia diantaranya Goffman (1959) dalam karyanya “The Presentation of Self in Everyday Life” mengembangkan konsep dramaturgi sebagai bentuk interaksi simbolik yang melibatkan peran dan penampilan.
Model ini berfokus pada bagaimana makna dibentuk dalam interaksi dan bagaimana individu membangun pemahaman bersama. Studi oleh Griffin (2015) dalam bukunya “A First Look at Communication Theory” mengaitkan model ini dengan konsep-konsep dalam teori komunikasi simbolik yang menekankan peran simbol dan makna dalam proses komunikasi interpersonal.
12. Model Schramm
Model Schramm menyoroti tiga unsur utama dalam proses komunikasi: sumber, pesan, dan sasaran (Schramm, 1954). Schramm mendefinisikan komunikasi sebagai transmisi pesan yang dapat ditafsirkan oleh sasaran. Referensi yang berkaitan dengan model Schramm dapat ditemukan dalam literatur dasar tentang teori komunikasi. Misalnya, buku “Communication: The Handbook” oleh Carey dan Communication as Culture karya Carey (1992) membahas konsep komunikasi sebagai proses transmisi dan interpretasi pesan.
Schramm juga memberikan kontribusi terhadap pengembangan model berbasis interaksi dengan pendekatannya yang menekankan interaksi sosial sebagai elemen utama dalam komunikasi. Penelitian oleh Rogers dan Kincaid (1981) mengembangkan model Health Belief Model yang mengintegrasikan konsep komunikasi interpersonal dalam pemahaman perilaku kesehatan.
Konklusi 12 Model Komunikasi
Dari pembahasan 12 model komunikasi yang beragam, kita dapat merangkum bahwa setiap model memberikan pandangan unik terhadap proses komunikasi. Model S-R, Aristoteles, Lasswell, Shannon dan Weaver, Newcomb, Westley dan Maclean, Gerbner, Berlo (SMCR), DeFleur, Gudykunst dan Kim, Interaksional, serta Schramm, mewakili pendekatan dari berbagai sudut pandang, mencakup aspek komunikasi interpersonal hingga dinamika komunikasi massa.
Temuan utama melibatkan pengakuan terhadap beragam faktor yang memengaruhi komunikasi. Yakni peran psikologi behavioristik dalam Model S-R dan retorika dalam Model Aristoteles. Model antarbudaya Gudykunst dan Kim menyoroti pentingnya filter konseptual budaya, sementara Model Interaksional menekankan pembentukan makna melalui interaksi sosial. Walaupun pendekatan berbeda, satu kesamaan yang muncul adalah peran sentral umpan balik dalam memahami dampak dan efek komunikasi.
Pemahaman mendalam tentang model-model ini memberikan dasar yang kuat untuk merancang strategi komunikasi yang efektif dalam berbagai konteks. Sebagai penutup, terus mengembangkan teori komunikasi menjadi kunci untuk memahami dan mengelola interaksi komunikatif di era yang terus berubah.