Buzzer dan Influencer dalam Perspektif Komunikasi Politik. Masih ingatkah kita fenomena Buzzer menyerang seseorang yaitu stand up komedian Bintang Emon? Buzzer menyerang dengan tudingan bahwa Bintang Emon memakai narkoba jenis sabu. Ini dikarenakan video Bintang Emon mengenai kritik sosial terhadap perkembangan kasus Novel Baswedan. Di mana pelaku penyiraman hanya dituntut 1 tahun penjara menjadi viral.
Video singkat tersebut yang berjudul “Ga Sengaja” mencapai puluhan juta viewer dan diperkirakan viewers-nya akan terus bertambah. Video kritik sosial ala Bintang Emon ini sukses menarik perhatian masyarakat dikarenakan cara penyampaian pesan Bintang sangat mudah dimengerti oleh berbagai kalangan dari orang tua, dewasa, remaja, hingga anak-anak sekalipun.
Daftar Isi
Influencer dan Buzzer Politik
Yang menarik menjadi pembahasan fenomena Buzzer tersebut menyerang Bintang setelah videonya tersebut viral, hal ini sulit untuk dipisahkan dari tendensius politik. Beberapa kali isu mengenai Buzzer sering mencuat di dalam perpolitikan Indonesia setelah era digital. Media digital menjadi tempat efektif dalam panggung-panggung politik khususnya dalam komunikasi politik di era modern.
Blumber dan Kavanagh, sebagaimana dikutip oleh Ward & Cahill (2009), menyebut saat ini sebagai era kemunculan komunikasi politik generasi ketiga. Pertama banyak memanfaatkan kekuatan face-to-face informal. Kedua bersandar pada penguasaan media-media arus utama (mainstream) seperti tv, koran, radio majalah dan lain-lain. Ketiga pada kekuatan interaktivitas dan basis multimedia yang memungkinkan orang saling bertautan tanpa harus bertemu secara fisik sebelumnya. Maka dari itulah ada istilah yang menyebutkan saat ini adalah era media baru (new media)
1. Tipologi Netizen
Dalam perkembangan dunia teknologi dan seputar internet, warga internet disebut juga dengan nama netizen. Tetapi yang menarik Buzzer ini tidak memiliki identitas yang identik di dalam akun-akun media sosialnya padahal dalam dunia nyata istilah warga identik dengan data indentitas.
Hal inilah yang menjadi kontroversi karena setiap perkataan Buzzer tidak bisa dipertanggungjawabkan dan sulit untuk diketahui siapa yang menulis di akun-akun tersebut. Tentunya hal ini sangat berpotensi untuk membuat kegaduhan dalam dunia internet antara netizen terkhusus dalam isu-isu politik.
Baca juga: Buzzer Sebagai Alternatif Iklan Politik Di Era Media Sosial
Menurut Gun-Gun Heryanto dalam bukunya Problematika Komunikasi Politik, jika diidentifikasi dalam perspektif komunikasi politik, netizen terbagi menjadi empat tipologi. Pertama Dissemanator, biasanya menyebar informasi harian, polanya berbagi dan terkoneksi satu sama lain dengan tujuan agar ide, ajakan atau sikapnya diketahui dan bisa diikuti orang lain. Kedua Publicst, biasanya membangun citra positif untuk tujuan popularitas dengan kontestasi politik, misalnya pemasaran politik melalui media sosial.
Ketiga Propagandist, senantiasa mempraktikkan teknik-teknik propaganda guna kepentingan delegitimasi lawan sekaligus memperkuat legitimasi dirinya lewat internet. Keempat Hactivist, yaitu aktivitas utamanya adalah meretas dan membobol akun, situs maupun informasi berbasis internet lainnya.
2. Tipologi Buzzer
Melihat dari tipologi yang disebutkan di atas rasa-rasanya kepentingan Buzzer lebih digunakan untuk ke tipologi propagandis yang bersifat selalu negatif dan menyarang dalam konteks politik kepada pihak-pihak lawan politiknya. Apalagi jika kita kaitkan dalam masalah Bintang Emon, ini terlihat Buzzer memfitnah Bintang Emon untuk menjatuhkan harga diri dan juga citra Bintang Emon di mata publik atau netizen.
Penulis jadi teringat pada masa lalu di mana saat zaman Orde Baru (Orba) kita mengenal istilah Petrus (Penembak Misterius) yang di mana kita tak pernah tahu siapa pelakunya dan juga tidak pernah ada informasi yang terungkap mengenai ini.
Jika kita kaitkan dengan Buzzer hal ini memiliki kemiripan hanya saja ini dalam konteks platform dan zaman yang berbeda. Petrus dan Buzzer sama-sama tidak diketahui identitasnya dan juga memiliki aura yang sama yaitu menghantui dan menakut-nakuti. Buzzer lebih menakut-nakuti orang untuk bebas berpendapat di media sosial. Kemudian Buzzer akan menyerang dan menjatuhkan citra pemilik akun, bahkan juga tidak segan memfitnah pemilik akun tersebut.
3. Tipologi Influencer
Beberapa kali isu mengenai Influencer sering mencuat di dalam perpolitikan Indonesia setelah era digital media menjadi tempat efektif dalam panggung-panggung politik khususnya dalam komunikasi politik di era modern.
Dalam perkembangan era media baru, Influencer bisa dikatakan sebagai netizen karena Influencer juga termasuk dalam ketegori warga internet, tetapi penulis menganalogikan Influencer adalah rajanya “netizen” karena Influencer yang bisa mempengaruhi opini publik warga internet.
Melihat dari 4 tipologi netizen yang disebutkan di atas, kepentingan Influencer lebih digunakan untuk tipologi propagandis yaitu untuk mempengaruhi netizen. Hal itulah yang menyebabkan Influencer sering dilirik oleh pihak korporasi maupun instansi pemerintah untuk melakukan marketing maupun kepentingan lainnya seperti pembangunan opini publik.
Tetapi dalam kasus ini apakah Influencer tepat digunakan yang bersinggungan dengan isu-isu politik? Karena melihat dari kasus sebelumnya tentang Influencer mempromosikan campaign yang diindikasikan isu Omnibus Law, faktanya campaign tersebut gagal total dan bahkan membuat kesalahan fatal yang mengakibatkan reputasi Influencer itu sendiri rusak, dan bahkan pemerintah pusat juga menjadi bahan serangan dari pihak oposisi.
4. Buzzer Ancaman Demokrasi Baru
Jika dilihat dalam perspektif demokrasi, Buzzer akan mengancam demokrasi kenegaraan kita dan menjadi sebuah ancaman baru. Pilar utama demokrasi adalah hak kebebasan berpendapat yang mana warga negaranya seharusnya merasa bebas berekspresi menyatakan pendapatnya walaupun dalam hal ini “bebas” yang dimaksud tetap dalam koridor norma-norma sosial yang berlaku.
Baca juga: Etika dalam Komunikasi Politik
Jika Buzzer mengakibatkan menimbulkan rasa takut dan cemas kepada warga negara dalam menyampaikan pendapat di media sosial, tentunya buzzer akan mengancam demokrasi kenegaraan kita. Hal ini tentunya menjadi sebuah kemunduran demokrasi. Mengingat demokrasi seharusnya membuat warga semakin tenang dan nyaman menyatakan pendapatnya bukan membuat warga memiliki rasa takut untuk berpendapat.
Maka dari itu seharusnya pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika bisa melihat ini menjadi masalah yang serius. Tentunya pihak pemerintah harus menertibkan Buzzer tersebut untuk kepentingan negara agar tetap tegaknya pilar-pilar demokrasi, dalam hal ini kebebasan hak berpendapat.
5. Influencer Komunikasi Politik
Dalam hal politik khususnya untuk pembangunan opini publik yang berkaitan dengan isu politik dan menyangkut hajat hidup orang banyak penggunaan jasa Influencer kuranglah tepat. Apalagi Influencer yang dimaksud adalah kalangan artis hiburan yang menurut penulis tidak ada relevansinya berbicara mengenai isu-isu politik. Influencer dibutuhkan untuk memperlancar promosi yang bersifat produk komersil. Bukan dalam pembangunan opini publik yang sifatnya isu politik, apalagi isu tersebut yang memiliki sifat debateable yang cukup tinggi.
Dalam pembangunan opini publik seharusnya instansi pemerintah yakin dengan tim humas instansinya sendiri untuk memperluas informasi ke masyarakat. Karena jika instansi pemerintah ingin memiliki opini yang baik di masyarakat dalam suatu isu tertentu seharusnya pemerintah membuat produk politik yang cukup matang. Produk politik yang prro kepada masyarakat dan juga melibatkan masyarakat. Hal itu yang menjadi penting yang harus dipegang teguh oleh instansi pemerintah dalam membuat opini publik yang baik di masyarakat. Bukan dengan menggunakan jasa Influencer.
Jika instansi pemerintah menggunakan jasa Influencer dalam pembangunan opini publik ini menjadikan sebuah tanda tanya dan sebuah keraguan. Karena ada sesuatu yang salah terhadap produk politik tersebut di masyarakat sehingga harus dipush opini tersebut menggunakan jasa Influencer.
Maka dari itu politik adalah bisnis harapan, untuk mengelola isu politik yang baik di masyarakat tidak perlu menggunakan teknik yang rumit. Kuncinya adalah mengelola harapan baik kepada masyarakat, libatkan masyarakat dalam pembuatan produk politik dan juga harus pro kepada kepentingan masyarakat. Maka pembangunan opini publik dalam isu politik tertentu akan mudah dan juga tentunya baik di mata masyarakat.
Penulis: Muhammad Farras Fadhilsyah (Anggota Bidang Komunikasi Politik Kajian Kopi Malam Institute)